Senin, 20 Agustus 2012

Bocah Penjinak Angin


How wonderful, and much get impressed with an amazing boy, William Kamkwamba. Ya, saya baru saja menuntaskan novelnya semalam, “The boy who harnessed the wind” atau “Bocah penjinak angin” dalam bahasa Indonesianya (tentu saja saya baca yang versi Indonesia).

Sulit dipercaya, bahwa hanya seorang bocah miskin dalam sebuah keluarga miskin yang tinggal di sebuah desa terpencil di negara bernama Malawi (anda tahu di mana tempatnya? Saya pun baru mendengar Malawi ketika membaca novel ini), kemudian mengikuti konferensi TED yang diadakan tiap tahun. Perlu diketahui bahwa konferensi ini diikuti oleh beragam ilmuwan dengan ide-ide menakjubkan dari seluruh pelosok Afrika. Tentunya konferensi ini bukan konferensi ecek-ecek, yang mana setiap peserta disuguhi fasilitas terbaik, seperti hotel berbintang, makanan mewah, dan tentu saja para undangan yang berilmu pengetahuan tinggi. Dan pada suatu konferensi di tahun 2007, bocah desa ini nyasar ke konferensi ini.

Ini semua sangat memotivasiku. Tahukah teman, bahwa di desa kecilnya dan di rumah kecilnya itu bahkan dia tidak tahu-menahu tentang laptop (waktu itu tahun 2007 lho!), internet, dan alat-alat canggih lainnya. Bahkan penduduk desa yang memiliki ponsel harus membayar ke sebuah toko yang terhubung dengan listrik untuk menge-chargenya. Namun semua hal tersebut tidak menghalangi ide cemerlangnya untuk membangkitkan listrik di daerah tertinggalnya itu.

Ya, dia adalah bocah yang kemudian berhasil mengikuti konferensi TED karena ide cemerlangnya dalam membangkitkan listrik menggunakan kincir angin. Hmm, terdengar biasa ya? Namun kincir angin itu sendiri dia buat dalam keadaan tidak cukup alat dan bahan dan tidak memiliki uang. Ia bahkan harus membeli sebuah dinamo sepeda milik orang yang tidak dia kenal dengan harga lebih murah daripada dinamo baru yang dijual di pasar. Bahkan untuk baut dan obeng pun dia tak sanggup beli. Bilah kincir angin itu sendiri terdiri dari alat-alat sederhana seperti kayu, pipa PVC (bekas tentu saja), yang kemudian dihubungkan dengan sebuah sepeda rongsokan yang hanya memiliki satu roda. Ya, rantai sepeda akan ikut berputar bersamaan dengan berputarnya kincir angin dan itulah nantinya yang menggerakkan generator (dinamo) pada sepeda.

Dia berpikir dengan cara yang sangat sederhana. Barang-barang bekas yang sudah hampir hancur bukanlah penghalang baginya, melainkan dia melihat itu semua sebagai harta karun yang terpendam. Dengan kecemerlangan otaknya, dia berhasil menggabungkan itu semua (yang setelah digabungkan, tetap saja tidak jauh berbeda dengan barang rongsokan lain) dan voilaaa!!!! Jadilah barang-barang itu menghantarkan energi listrik ke rumahnya.

Dia berhasil menerangi kamarnya, kamar orang tuanya, dan satu ruang keluarga di malam hari dengan “angin listrik” buatannya. Bahkan tetangganya mengantre ingin menge-charge ponsel mereka. Dia pun telah berkreasi sedemikian rupa dengan membuat saklar menggunakan sol sepatu, dan betapa senangnya dia ketika dia dapat menyalakan lampu dengan hanya menyentuh dinding! Hal yang selama ini terlihat mewah baginya.

Perlu diketahui bahwa saat itu usianya baru 14 tahun, dan dalam keadaan putus sekolah karena tak kuat membayar uang sekolah. Saat itu di Malawi terjadi krisis berat dan banyak orang yang mati kelaparan karenanya. Keinginannya yang kuat untuk bersekolah membawa dia ke sebuah perpustakaan kecil di SD desa Wimbe dan menemukan “hartanya” di sana. Dia menemukan dirinya sangat tertarik dengan buku “Explaining Physics”, “Using Energy”, “Integrated Science”, dan belajar otodidak dari itu semua. Bahkan buku-buku itu tertulis dalam bahasa Inggris yang sangat tidak ia mengerti. Ia hanya belajar dari diagram, dan sesekali bertanya pada temannya atau seorang guru penjaga perpustakaan saat itu, tentang arti kata-kata sulit.

Bayangkan, seorang anak tak bersekolah, yang belajar sendiri dari gambar-gambar, dan langsung mengaplikasikannya, dan berhasil. Such an amazing, bukan!!

Satu daya tarik lagi dari buku ini, bahasanya lucu. Bercerita dengan polos dan blak-blakan menurutku. Sangat polos ketika ia bercerita tentang kemiskinan yang melanda, tentang orang-orang yang terlihat menjadi buas saat menginginkan makanan, dan masih banyak lagi.

Ada hal yang menggangguku ketika membaca ini adalah tentang persoalan agama yang juga sedikit disinggung. Ternyata di Afrika sana juga banyak muslim. Presiden Malawi, sebelum ia mengundurkan diri karena banyak yang tak suka, adalah seorang muslim, dan kepala suku di desanya yang juga ayah dari teman dekatnya Gilbert juga adalah seorang muslim. Tampaknya image muslim yang dituliskan di buku ini tidak terlalu bagus, tapi sepertinya juga tidak berniat untuk menjelek-jelekkan. Sementara itu, seorang kepala suku yang muslim itu, ketika meninggal, diselenggarakan bukan secara Islam. Aku hanya bisa terheran-heran sendiri. Hahaa, kenapa begitu ya? Tampaknya Islam di sana tidak terlalu baik (khususnya di desa Wimbe itu).


Tetap saja suatu kepuasan tersendiri ketika dapat membaca sendiri buku ini hingga selesai. Perasaan William ketika menyadari bahwa dirinya akan terkenal sangat mengharukan, seakan-akan seperti diri sendiri saja. Ya, tentu saja sekarang ia terkenal. Bahkan seorang anak yang bukan siapa-siapa, sedang duduk malas di ujung negeri satunya, di Indonesia, tepatnya di Bukittinggi, di ujung Bukittinggi (sedikit terlihat desa) telah mengetahui keberadaan bocah jenius itu (sekarang sudah bukan bocah lagi tentunya) dan bela-belain searching di youtube untuk melihat videonya. Yang sekarang dengan senang hati men-share video itu ke pembaca blognya :D Enjoy!!! (sumber:youtube, key word:william kamkwamba)


Ini videonya saat pertama kali mengikuti konferensi TED. Lihat ekspresinya saat mengucapkan, "I tried it, and I made it." Semua orang saat itu bertepuk tangan. Setelah itu di hari-hari konferensi kata-katanya sering diucapkan oleh anggota konferensi lain. How simple he was.
Ini 2 tahun setelahnya ketika dia hadir lagi pada konferensi TED, dengan bahasa Inggris yang lebih baik.

Tidak ada komentar: