Minggu, 03 Februari 2013

Islam, Eropa, Afrika, Palestina :)


Syarifuddin Khalifah, bocah yang telah mengislamkan ribuan orang, Pengantin-pengantin Al-Quds, dan 99 Cahaya di Langit Eropa adalah buku-buku yang baru saja kuselesaikan membacanya akhir-akhir ini. dan menurutku secara tidak langsung ketiga ini memiliki hubungan yang menarik satu-sama lainnya. Satu hal yang menyatukannya tentu saja adalah, Islam.




Aku ingin memulainya dari buku yang tadi baru kutamatkan, yakni “99 Cahaya di Langit Eropa”. Berkisah tentang perjalanan seorang, Hanum Salsabiela Rais, beliau adalah puteri dari Amien Rais yang dulu sempat mewarnai pemilihan Presiden RI ke-V , sebagai salah satu calon Presiden. Amat sangat menarik dan begitu banyak ilmu sejarah yang tersimpan di dalam buku ini dan diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan, sebagaimana seorang teman sedang berbagi kisah perjalanannya. Jika ingin mendapatkan ilmu-ilmu tentang kejayaan Islam di Eropa secara utuh, tentulah harus membaca sendiri bukunya. Bahkan dengan ulasan-ulasan menarik dan juga terkadang detail itu belum tentu dapat melepas dahaga kita akan curiousity terhadap peradaban Islam di Eropa. Pun demikian buku ini mampu membuka pikiran kita, membayangkan kembali betapa cahaya-cahaya Islam pernah berpendar indah di langit Eropa.

Empat negara yang digambarkan di novel ini sungguh mengagumkan, dan memacu hasrat untuk turut menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri bukti-bukti peradaban Islam itu. Keempat negara yang disinggahi sang penulis adalah, Austria, yang menjadi tempat penulis bermukim sementara, menemani suaminya dalam menuntut ilmu meraih gelar doktor, kemudian Prancis, negara pusat mode dan peradaban dunia yang ternyata menyuguhkan lebih dari sekedar Eiffel, dilanjutkan ke Spanyol yaitu ke Cordoba “The true city of light” dan Granada, dan terakhir adalah Turki.

Banyak hal-hal menarik yang ia temukan di sana. Seperti pertemuannya pertama kali di Wina dengan saudari semuslimnya, Fatma yang mengajarkannya banyak hal akan dakwah Islam. Bahwa temannya mengatakan tugas seorang Muslim di Eropa sebagai kaum minoritas adalah dengan menjadi agen muslim yang baik (aku suka kata-kata ini :D Agent, sounds prestigious). Kemudian tentang kedai makanan, hmmm mungkin restoran yang besar di Wina dengan semboyan “All you can eat, pay as you wish” milik seorang muslim. Semua hal itu menjadikan muslim ataupun Islam begitu indah, baik di mata non muslim sekalipun. Sang pemilik restoran, Deewan, sangat percaya selagi ia memberi dengan ikhlas pada orang lain, maka rezeki pun akan mengalir terus padanya. Terbukti dengan usahanya yang masih bertahan hingga lebih dari 5 tahun itu. Aku sendiri jadi kepikiran untuk membuat rumah makan serupa, Makan sepuasnya, bayar seikhlasnya. Bisa ga ya di Indonesia?

Kemudian di Paris, ia pun dengan mudah langsung merasa begitu dekat dengan Marion, muallaf yang sedang berkuliah menggeluti sejarah peradaban Islam di negara peradaban itu. Marion yang pengetahuannya begitu banyak akan Islam, menjelaskan satu per satu peninggalan sejarah Islam yang ada di museum Louvre, salah satu ikon kebanggaan Paris. Berbagai tulisan kufic, salah satu bentuk kaligrafi, dan juga pseudo kufic, tiruannya, memiliki makna-makna indah Islam, seakan itu adalah tulisan tersembunyi yang dibuat oleh pengrajin kain tenun asal Arab. Begitu besarnya pengaruh budaya Islam saat itu, hingga produk asal Arab pun dilukis oleh para seniman di Eropa tanpa mereka menyadari bahwa itu bertuliskan lafaz Allah, kalimat tahlil, dan kalimat-kalimat lain bernapaskan Islam. Bahkan kain tenunan arab yang berhiaskan kaligrafi pun pernah dipakai oleh Raja di Eropa.

Kemudian ada Axe Historique, yaitu garis yang menghubungkan Arc de Triumphe du Carrousel , Arc de Triumphe de l’Etoile, dan museum Louvre dalam garis lurus. Dugaan Marion yang menyebutkan jika garis lurus itu ditarik lebih jauh lagi ke arah timur maka akan tepat bertemu pada satu titik yaitu Ka’bah di Makkah benar-benar fakta yang membuat napas tertahan untuk beberapa saat.