Selasa, 21 Mei 2019

Tanjung Batu, The Beauty of Simplicity

Hampir setahun sudah saya meninggalkan suatu kampung kecil bernama Tanjung Batu, tempat saya dan suami menjalani program PTT. Tanjung Batu begitu berarti banyak dalam hidup saya. Walaupun hanya tinggal selama 10 bulan di sana, Tanjung Batu sudah seperti kampung kedua saya. Sudah saya cintai dan rindukan sebagaimana kampung halaman tempat lahir sendiri. Orang-orang disana pun sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, meskipun mungkin bukan sebaliknya, haha. Tapi tak apalah, memang saya sudah terlanjur cinta akan kampung kecil nan sederhana itu.
Pertama kali menaiki kapal dari pelabuhan Batam menuju pulau Karimun, tiba-tiba saja air mata mengalir. Perasaan saya bercampur aduk kala itu. Perjalanan luar pulau pertama kali bersama suami, dan juga perjalanan pertama kali bagi saya menuju provinsi Kepulauan Riau. Semua perasaan campur aduk kala itu. Sedih, terharu, deg-degan, excited, bingung. Tidak berharap apa-apa, tapi juga belum siap akan hal-hal buruk.

Alhamdulillah sesampai di Tanjung Balai Karimun kami disambut lumayan hangat oleh orang-orang dari Dinas Kesehatan. Dari sana kami kemudian menuju pulau Kundur, tempat desa bernama Tanjung Batu berada. Tempat kami mengabdi untuk beberapa bulan selanjutnya.

Setibanya pertama kali di Tanjung Batu, satu kata yang sangat menggambarkannya adalah sederhana. Tidak, desa ini tidak terlalu terbelakang. Banyak ruko-ruko, warung makan, listrik dan air hampir 24 jam, jaringan internet aman. Semuanya ada namun juga tidak berlebihan. Inilah yang saya suka dari Tanjung Batu. Semuanya sederhana, tidak kurang, tidak pula lebih. Dan semua masyarakatnya hidup dengan penuh syukur. Terbukti dari keceriaan dan keramahan mereka. Banyak dari penduduk asli Tanjung Batu yang berkuliah tidak hanya di Kepri saja namun juga di luar provinsi yang jauh. Namun kebanyakan dari mereka setelah menamatkan kuliah, balik lagi ke kampung halaman. Mungkin semua itu memang hanya karena besarnya rasa cinta mereka terhadap kampung halamannya.

Bertemu dengan beberapa staf Puskesmas Tanjung Batu hanya menambah rasa kagum saya terhadap masyarakatnya. Semakin membenarkan adanya bahwa masyarakat melayu ini memang sangat ramah, suka bergurau, apa adanya. Setibanya kami di pelabuhan Tanjung Batu, kami dijemput oleh supir ambulans puskesmas, Bang Indra namanya. Kemudian sekilas beliau menjelaskan jalanan Tanjung Batu. Dari pelabuhan menuju puskesmas, sepanjang jalan itu, itulah Tanjung Batu. Lebih tepatnya Tanjung Batu Kota namanya, semacam nama kelurahannya (dalam ruang lingkup lebih sempit). Sepanjang jalan utama itu, kami melewati kantor pos, kantor polisi, sekolah, beberapa bank (Mandiri, BRI, Bank Riau Kepri), Kantor kecamatan, kantor-kantor perangkat desa lainnya, Balai Sri Gading (balai pertemuan), Masjid, Gereja, Klenteng, yang paling banyak adalah ruko dan warung makan.

Hari-hari pertama kami lalui dengan mencoba segala kuliner yang ada dan menjelajah sejauh mungkin pulau Kundur. Sejauh yang bisa saya ingat, tidak pernah rasanya makanan yang saya makan di Tanjung Batu terasa tidak enak. Semua rasanya enak. Beberapa bulan terakhir barulah saya bisa benar-benar mengklasifikasikannya mana yang enak, sangat enak, dan kurang enak. Bisa jadi karena sudah bosan. Atau mungkin juga karena saat awal-awal di sana kami masih pasangan newly wed, yang semua hal terasa indah, semua makanan terasa nikmat :D
Indahnya masa-masa pengantin baru <3

Berhubung sudah semakin malam, saya sudah agak mengantuk, kebaperan sudah perlahan hilang, dan saya sudah tidak fokus, saya sudahi dulu tulisan melow2 saya tentang Tanjung Batu.
Insya Allah kapan-kapan akan saya sambung lagi kalau saya lagi baper, hehe.. 

1 komentar:

Okky husain mengatakan...

Tempat wisata disana apa aja kakak?