How wonderful, and much get impressed with an amazing boy,
William Kamkwamba. Ya, saya baru saja menuntaskan novelnya semalam, “The boy
who harnessed the wind” atau “Bocah penjinak angin” dalam bahasa Indonesianya
(tentu saja saya baca yang versi Indonesia).
Sulit dipercaya, bahwa hanya seorang bocah miskin dalam
sebuah keluarga miskin yang tinggal di sebuah desa terpencil di negara bernama
Malawi (anda tahu di mana tempatnya? Saya pun baru mendengar Malawi ketika
membaca novel ini), kemudian mengikuti konferensi TED yang diadakan tiap tahun.
Perlu diketahui bahwa konferensi ini diikuti oleh beragam ilmuwan dengan
ide-ide menakjubkan dari seluruh pelosok Afrika. Tentunya konferensi ini bukan
konferensi ecek-ecek, yang mana setiap peserta disuguhi fasilitas terbaik,
seperti hotel berbintang, makanan mewah, dan tentu saja para undangan yang
berilmu pengetahuan tinggi. Dan pada suatu konferensi di tahun 2007, bocah desa
ini nyasar ke konferensi ini.
Ini semua sangat memotivasiku. Tahukah teman, bahwa di desa
kecilnya dan di rumah kecilnya itu bahkan dia tidak tahu-menahu tentang laptop
(waktu itu tahun 2007 lho!), internet, dan alat-alat canggih lainnya. Bahkan
penduduk desa yang memiliki ponsel harus membayar ke sebuah toko yang terhubung
dengan listrik untuk menge-chargenya.
Namun semua hal tersebut tidak menghalangi ide cemerlangnya untuk membangkitkan
listrik di daerah tertinggalnya itu.
Ya, dia adalah bocah yang kemudian berhasil mengikuti
konferensi TED karena ide cemerlangnya dalam membangkitkan listrik menggunakan
kincir angin. Hmm, terdengar biasa ya? Namun kincir angin itu sendiri dia buat
dalam keadaan tidak cukup alat dan bahan dan tidak memiliki uang. Ia bahkan
harus membeli sebuah dinamo sepeda milik orang yang tidak dia kenal dengan
harga lebih murah daripada dinamo baru yang dijual di pasar. Bahkan untuk baut
dan obeng pun dia tak sanggup beli. Bilah kincir angin itu sendiri terdiri dari
alat-alat sederhana seperti kayu, pipa PVC (bekas tentu saja), yang kemudian
dihubungkan dengan sebuah sepeda rongsokan yang hanya memiliki satu roda. Ya,
rantai sepeda akan ikut berputar bersamaan dengan berputarnya kincir angin dan
itulah nantinya yang menggerakkan generator (dinamo) pada sepeda.
Dia berpikir dengan cara yang sangat sederhana.
Barang-barang bekas yang sudah hampir hancur bukanlah penghalang baginya,
melainkan dia melihat itu semua sebagai harta karun yang terpendam. Dengan
kecemerlangan otaknya, dia berhasil menggabungkan itu semua (yang setelah
digabungkan, tetap saja tidak jauh berbeda dengan barang rongsokan lain) dan
voilaaa!!!! Jadilah barang-barang itu menghantarkan energi listrik ke rumahnya.
Dia berhasil menerangi kamarnya, kamar orang tuanya, dan
satu ruang keluarga di malam hari dengan “angin listrik” buatannya. Bahkan
tetangganya mengantre ingin menge-charge ponsel mereka. Dia pun telah berkreasi
sedemikian rupa dengan membuat saklar menggunakan sol sepatu, dan betapa
senangnya dia ketika dia dapat menyalakan lampu dengan hanya menyentuh dinding!
Hal yang selama ini terlihat mewah baginya.
Perlu diketahui bahwa saat itu usianya baru 14 tahun, dan
dalam keadaan putus sekolah karena tak kuat membayar uang sekolah. Saat itu di
Malawi terjadi krisis berat dan banyak orang yang mati kelaparan karenanya.
Keinginannya yang kuat untuk bersekolah membawa dia ke sebuah perpustakaan
kecil di SD desa Wimbe dan menemukan “hartanya” di sana. Dia menemukan dirinya
sangat tertarik dengan buku “Explaining Physics”, “Using Energy”, “Integrated
Science”, dan belajar otodidak dari itu semua. Bahkan buku-buku itu tertulis
dalam bahasa Inggris yang sangat tidak ia mengerti. Ia hanya belajar dari
diagram, dan sesekali bertanya pada temannya atau seorang guru penjaga
perpustakaan saat itu, tentang arti kata-kata sulit.
Bayangkan, seorang anak tak bersekolah, yang belajar sendiri
dari gambar-gambar, dan langsung mengaplikasikannya, dan berhasil. Such an
amazing, bukan!!
Satu daya tarik lagi dari buku ini, bahasanya lucu.
Bercerita dengan polos dan blak-blakan menurutku. Sangat polos ketika ia
bercerita tentang kemiskinan yang melanda, tentang orang-orang yang terlihat
menjadi buas saat menginginkan makanan, dan masih banyak lagi.
Ada hal yang menggangguku ketika membaca ini adalah tentang
persoalan agama yang juga sedikit disinggung. Ternyata di Afrika sana juga
banyak muslim. Presiden Malawi, sebelum ia mengundurkan diri karena banyak yang
tak suka, adalah seorang muslim, dan kepala suku di desanya yang juga ayah dari
teman dekatnya Gilbert juga adalah seorang muslim. Tampaknya image muslim yang dituliskan di buku ini
tidak terlalu bagus, tapi sepertinya juga tidak berniat untuk
menjelek-jelekkan. Sementara itu, seorang kepala suku yang muslim itu, ketika
meninggal, diselenggarakan bukan secara Islam. Aku hanya bisa terheran-heran
sendiri. Hahaa, kenapa begitu ya? Tampaknya Islam di sana tidak terlalu baik
(khususnya di desa Wimbe itu).
Tetap saja suatu kepuasan tersendiri ketika dapat
membaca sendiri buku ini hingga selesai. Perasaan William ketika menyadari
bahwa dirinya akan terkenal sangat mengharukan, seakan-akan seperti diri
sendiri saja. Ya, tentu saja sekarang ia terkenal. Bahkan seorang anak yang
bukan siapa-siapa, sedang duduk malas di ujung negeri satunya, di Indonesia,
tepatnya di Bukittinggi, di ujung Bukittinggi (sedikit terlihat desa) telah
mengetahui keberadaan bocah jenius itu (sekarang sudah bukan bocah lagi
tentunya) dan bela-belain searching di youtube untuk melihat videonya. Yang
sekarang dengan senang hati men-share
video itu ke pembaca blognya :D
Enjoy!!! (sumber:youtube, key word:william kamkwamba)
Ini videonya saat pertama kali mengikuti konferensi TED. Lihat ekspresinya saat mengucapkan, "I tried it, and I made it." Semua orang saat itu bertepuk tangan. Setelah itu di hari-hari konferensi kata-katanya sering diucapkan oleh anggota konferensi lain. How simple he was.
Ini 2 tahun setelahnya ketika dia hadir lagi pada konferensi TED, dengan bahasa Inggris yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar