Syarifuddin Khalifah, bocah yang telah mengislamkan ribuan
orang, Pengantin-pengantin Al-Quds, dan 99 Cahaya di Langit Eropa adalah
buku-buku yang baru saja kuselesaikan membacanya akhir-akhir ini. dan menurutku
secara tidak langsung ketiga ini memiliki hubungan yang menarik satu-sama lainnya.
Satu hal yang menyatukannya tentu saja adalah, Islam.
Aku ingin memulainya dari buku yang tadi baru kutamatkan,
yakni “99 Cahaya di Langit Eropa”. Berkisah tentang perjalanan seorang, Hanum
Salsabiela Rais, beliau adalah puteri dari Amien Rais yang dulu sempat mewarnai
pemilihan Presiden RI ke-V , sebagai salah satu calon Presiden. Amat sangat
menarik dan begitu banyak ilmu sejarah yang tersimpan di dalam buku ini dan
diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan, sebagaimana seorang teman sedang
berbagi kisah perjalanannya. Jika ingin mendapatkan ilmu-ilmu tentang kejayaan
Islam di Eropa secara utuh, tentulah harus membaca sendiri bukunya. Bahkan
dengan ulasan-ulasan menarik dan juga terkadang detail itu belum tentu dapat
melepas dahaga kita akan curiousity
terhadap peradaban Islam di Eropa. Pun demikian buku ini mampu membuka pikiran
kita, membayangkan kembali betapa cahaya-cahaya Islam pernah berpendar indah di
langit Eropa.
Empat negara yang digambarkan di novel ini sungguh
mengagumkan, dan memacu hasrat untuk turut menyaksikan secara langsung dengan
mata kepala sendiri bukti-bukti peradaban Islam itu. Keempat negara yang
disinggahi sang penulis adalah, Austria, yang menjadi tempat penulis bermukim
sementara, menemani suaminya dalam menuntut ilmu meraih gelar doktor, kemudian
Prancis, negara pusat mode dan peradaban dunia yang ternyata menyuguhkan lebih
dari sekedar Eiffel, dilanjutkan ke Spanyol yaitu ke Cordoba “The true city of light” dan Granada, dan
terakhir adalah Turki.
Banyak hal-hal menarik yang ia temukan di sana. Seperti pertemuannya
pertama kali di Wina dengan saudari semuslimnya, Fatma yang mengajarkannya
banyak hal akan dakwah Islam. Bahwa temannya mengatakan tugas seorang Muslim di
Eropa sebagai kaum minoritas adalah dengan menjadi agen muslim yang baik (aku
suka kata-kata ini :D Agent, sounds
prestigious). Kemudian tentang kedai makanan, hmmm mungkin restoran yang
besar di Wina dengan semboyan “All you
can eat, pay as you wish” milik seorang muslim. Semua hal itu menjadikan
muslim ataupun Islam begitu indah, baik di mata non muslim sekalipun. Sang pemilik
restoran, Deewan, sangat percaya selagi ia memberi dengan ikhlas pada orang
lain, maka rezeki pun akan mengalir terus padanya. Terbukti dengan usahanya
yang masih bertahan hingga lebih dari 5 tahun itu. Aku sendiri jadi kepikiran
untuk membuat rumah makan serupa, Makan
sepuasnya, bayar seikhlasnya. Bisa ga ya di Indonesia?
Kemudian di Paris, ia pun dengan mudah langsung merasa
begitu dekat dengan Marion, muallaf yang sedang berkuliah menggeluti sejarah
peradaban Islam di negara peradaban itu. Marion yang pengetahuannya begitu
banyak akan Islam, menjelaskan satu per satu peninggalan sejarah Islam yang ada
di museum Louvre, salah satu ikon kebanggaan Paris. Berbagai tulisan kufic,
salah satu bentuk kaligrafi, dan juga pseudo kufic, tiruannya, memiliki
makna-makna indah Islam, seakan itu adalah tulisan tersembunyi yang dibuat oleh
pengrajin kain tenun asal Arab. Begitu besarnya pengaruh budaya Islam saat itu,
hingga produk asal Arab pun dilukis oleh para seniman di Eropa tanpa mereka
menyadari bahwa itu bertuliskan lafaz Allah, kalimat tahlil, dan
kalimat-kalimat lain bernapaskan Islam. Bahkan kain tenunan arab yang
berhiaskan kaligrafi pun pernah dipakai oleh Raja di Eropa.
Kemudian ada Axe Historique, yaitu garis yang menghubungkan Arc
de Triumphe du Carrousel , Arc de Triumphe de l’Etoile, dan museum Louvre dalam
garis lurus. Dugaan Marion yang menyebutkan jika garis lurus itu ditarik lebih
jauh lagi ke arah timur maka akan tepat bertemu pada satu titik yaitu Ka’bah di
Makkah benar-benar fakta yang membuat napas tertahan untuk beberapa saat.